| dbo:abstract
|
- Bersiap is the name given by the Dutch to a violent and chaotic phase of the Indonesian National Revolution following the end of World War II. The Indonesian word bersiap means 'get ready' or 'be prepared'. The Bersiap period lasted from August 1945 to November 1947. In Indonesia, other terms aside from bersiap are commonly used, such as gedoran in Depok, ngeli in Banten and surrounding West Java, and gegeran and dombreng in Central Java. The period started with revolutionary violence occurring during the increasing power vacuum left by the retreating Japanese occupational forces and the gradual buildup of a British military presence but before the official handover to a Dutch military presence. The term refers to that period when Sukarno declared Indonesian independence on 17 August 1945. Thousands of Eurasian people were killed by Indonesian natives. Many people were also killed among non-European groups such as Chinese and native Indonesians like Moluccans, Javanese and other people of higher economic standings. The violence led to forced repatriation and worldwide diaspora of the Indo people. The period ended with the departure of the British military in 1946, by which time the Dutch had rebuilt their military capacity. Meanwhile, the Indonesian revolutionary fighters were well into the process of forming a formal military. The last Japanese troops had been evacuated by July 1946. (en)
- Bersiap adalah sebuah istilah yang diberikan oleh Belanda, yang merujuk pada kekacauan dan kengerian akibat dari revolusi di Jawa, yang terjadi pada tahun 1945-1947. Periode ini diawali oleh peralihan kekuasaan dari Tentara Kekaisaran Jepang kepada pemerintahan Republik Indonesia. Estimasi jumlah korban dari kekacauan ini berkisar antara 3.500 hingga 20.000 jiwa yang terdiri atas orang Belanda beserta keturunannya, orang Tionghoa, orang Jawa, orang Maluku, dan kelompok lain dari status sosial ekonomi yang tinggi. Periode ini ditandai dengan terjadinya huru-hara, pembantaian, dan perampokan massal yang dilakukan oleh masyarakat pro-kemerdekaan, atau yang biasa disebut sebagai Pemoeda dan Pelopor. Orang-orang Eropa dan orang Indo menjadi target utama dalam kekacauan ini, walaupun banyak juga korban yang merupakan orang Maluku dan orang Tionghoa. Oleh sebab itu, jarang sekali ditemukan orang keturunan Belanda atau Eropa yang tinggal di Indonesia setelah kemerdekaan hingga sekarang karena banyak yang menjadi korban Masa Bersiap atau melarikan diri ke Eropa. Sebagai akibat dari perang saudara di Tiongkok Daratan, sebagian orang Tionghoa kaum kanan waktu itu banyak yang mendukung partai Kuomintang yang juga pro-Belanda yang secara otomatis tidak mengakui kemerdekaan Indonesia, sehingga mereka juga ikut menjadi korban dari masa tersebut. Awal masa ini bermula dengan dijarah dan dirampoknya Depok oleh para Pemoeda atau Pelopor pada tanggal 9 Oktober 1945. Depok waktu itu dikenal sebagai pusat tempat tinggalnya orang Indo. Sedangkan masa akhir Bersiap ditetapkan selesai dengan munculnya aksi Agresi Militer Belanda I atau Aksi Polisi Belanda I pada bulan Januari 1947. Namun pemerintah Belanda mendefinisikan masa ini lebih luas, yaitu dari Kapitulasi Jepang pada tanggal 15 Agustus 1945 sampai pengakuan kedaulatan Republik Indonesia pada tanggal 27 Desember 1949. (in)
- De Bersiap was een uiterst gewelddadige periode in de Nederlandse en Indonesische geschiedenis, die het hevigst was tussen ongeveer oktober 1945 en begin 1946. De periode begon vrijwel direct na het einde van de Japanse bezetting en duurde volgens historicus Willem H. Fredrick van augustus 1945 tot november 1947. Zij kenmerkte zich door dodelijk xenofoob geweld tegen Indische Nederlanders, zowel blanken (Europeanen) als Indo’s (gemengd Europees-Indonesisch), en andere niet-inlanders zoals Chinezen en Europeanen, maar ook tegen Molukkers en andere Indonesiërs die verdacht werden van collaboratie met het koloniale bestuur van Nederlands-Indië. Gedurende deze periode zijn vele duizenden (Indische) Nederlanders slachtoffer geworden van zeer gewelddadige Indonesische strijders, vanwege hun Nederlandse c.q. Europese etniciteit. Veel doden vielen er ook onder niet-Europese groepen, zoals Chinezen, Molukkers en Japanners. Het racistisch geweld leidde tot repatriëring naar Nederland van Indische Nederlanders en wereldwijde diaspora van Indische Nederlanders. Het Maleise woord bersiap ("sta paraat", "wees waakzaam") was in de onafhankelijkheidsstrijd een strijdkreet. Indonesische historici gebruiken dit begrip niet, maar zien de periode als onderdeel van de jarenlange gewelddaden tijdens de Revolusi. Zie verder onder het kopje Beladen begrip. (nl)
|
| rdfs:comment
|
- Bersiap is the name given by the Dutch to a violent and chaotic phase of the Indonesian National Revolution following the end of World War II. The Indonesian word bersiap means 'get ready' or 'be prepared'. The Bersiap period lasted from August 1945 to November 1947. In Indonesia, other terms aside from bersiap are commonly used, such as gedoran in Depok, ngeli in Banten and surrounding West Java, and gegeran and dombreng in Central Java. (en)
- Bersiap adalah sebuah istilah yang diberikan oleh Belanda, yang merujuk pada kekacauan dan kengerian akibat dari revolusi di Jawa, yang terjadi pada tahun 1945-1947. Periode ini diawali oleh peralihan kekuasaan dari Tentara Kekaisaran Jepang kepada pemerintahan Republik Indonesia. Estimasi jumlah korban dari kekacauan ini berkisar antara 3.500 hingga 20.000 jiwa yang terdiri atas orang Belanda beserta keturunannya, orang Tionghoa, orang Jawa, orang Maluku, dan kelompok lain dari status sosial ekonomi yang tinggi. (in)
- De Bersiap was een uiterst gewelddadige periode in de Nederlandse en Indonesische geschiedenis, die het hevigst was tussen ongeveer oktober 1945 en begin 1946. De periode begon vrijwel direct na het einde van de Japanse bezetting en duurde volgens historicus Willem H. Fredrick van augustus 1945 tot november 1947. Zij kenmerkte zich door dodelijk xenofoob geweld tegen Indische Nederlanders, zowel blanken (Europeanen) als Indo’s (gemengd Europees-Indonesisch), en andere niet-inlanders zoals Chinezen en Europeanen, maar ook tegen Molukkers en andere Indonesiërs die verdacht werden van collaboratie met het koloniale bestuur van Nederlands-Indië. Gedurende deze periode zijn vele duizenden (Indische) Nederlanders slachtoffer geworden van zeer gewelddadige Indonesische strijders, vanwege hun Nede (nl)
|
