| dbo:abstract
|
- La perfección de Cristo es un principio en la cristología que afirma que los atributos humanos de Cristo ejemplifican la perfección en todos los sentidos posibles. Otra perspectiva caracteriza a la perfección de Cristo como puramente espiritual y moral, mientras que sus rasgos humanistas están sujetos a error, potencial, y mejora como parte de la condición humana actual. La perspectiva del apóstol Pablo sobre Cristo como el «hombre perfecto» le considera el «segundo Adán», quien dio a luz a la vida, mientras que Adán dejó una herencia de pecado, por ejemplo, en 1 Corintios 15:22 y Romanos 5:12. En el siglo II, Ireneo de Lyon basaba su concepto de la perfección de Cristo en el Evangelio de Juan (así como otro evangelios sinópticos), más que en las epístolas paulinas. Para Ireneo la perfección de Cristo se originó de su ser «El Verbo», es decir, el Logos que pre-existió como Cristo en forma perfecta, intacto del pecado: porque él era el primero, él podía alcanzar la perfección. En el siglo III, Tertuliano hizo hincapié en la perfección de Cristo, como consecuencia fundamental de la encarnación del Logos en Cristo. En opinión de Tertuliano, sugerir que cualquier cosa podría ser añadida para mejorar a Cristo sería negar los Evangelios. En la Edad Media un enfoque clave de los estudios cristológicos en el era su perfección, como en Juan 1:14, donde dice: «lleno de gracia y de verdad». En el siglo XIII, la perfección de Cristo fue objeto de un análisis teológico detallado por Tomás de Aquino en su Summa Theologiae. Juan Calvino consideraba la perfección de Cristo como fuente de gracia que cubría las manchas del pecado en otros. (es)
- The perfection of Christ is a principle in Christology which asserts that Christ's human attributes exemplified perfection in every possible sense. Another perspective characterizes Christ's perfection as purely spiritual and moral, while his humanistic traits are subject to flaw, potential, and improvement as part of the current human condition. Apostle Paul's perspective on Christ as the "perfect man" considered him the "second Adam" who brought forth life, while Adam left a legacy of sin, e.g. in 1 Corinthians 15:22 (NIV) and Romans 5:12 (NIV) In Ephesians 4:13, the Christian community is called to the "unity of faith, and of the knowledge of the Son of God, unto a perfect man, unto the measure of the age of the fullness of Christ," hence reaching its perfection in the perfection of Christ himself. In the 2nd century, Saint Irenaeus of Lyons based his concept of the perfection of Christ on the Gospel of John (as well as the other Synoptic Gospels) rather than on the Pauline Epistles. For Irenaeus the perfection of Christ originates from his being "The Word", i.e. the Logos which pre-existed as Christ in perfect form, untouched by sin: because he was the first, he could achieve perfection. In the 3rd century, Tertullian emphasized the perfection of Christ as a key consequence of the Incarnation of the Logos in Christ. In Tertullian's view to suggest that anything could be added to improve Christ would be to deny the Gospels. In the Middle Ages a key focus of Christological studies on the knowledge of Christ was his perfection as in John 1:14 (NIV) which states "full of grace and truth". In the 13th century, the perfection of Christ was subject to detailed theological analysis by Saint Thomas Aquinas in his Summa Theologiae. John Calvin considered the perfection of Christ as a source of grace which covered the blemishes of sin in others. In its document Gaudium et Spes, the Second Vatican Council teaches that Adam, the first man, was a figure of Him Who was to come, namely Christ the Lord. Christ, the final Adam, by the revelation of the mystery of the Father and His love, fully reveals man to man himself and makes his supreme calling clear. It is not surprising, then, that in Him all the aforementioned truths find their root and attain their crown. The Council goes on to explain the concept of Christ's human perfection, which is based in the union between his human and divine nature: He Who is "the image of the invisible God" (Col. 1:15, cf. 2 Cor. 4:4), is Himself the perfect man. To the sons of Adam He restores the divine likeness which had been disfigured from the first sin onward. Since human nature as He assumed it was not annulled, by that very fact it has been raised up to a divine dignity in our respect too. For by His incarnation the Son of God has united Himself in some fashion with every man. He worked with human hands, He thought with a human mind, acted by human choice and loved with a human heart. Born of the Virgin Mary, He has truly been made one of us, like us in all things except sin (cf. Hebr. 4:15). The Council resumes this idea in a later section when emphasizing the culmination of history in God's love, in which human perfection is found: For God's Word, through Whom all things were made, was Himself made flesh and dwelt on the earth of men. Thus He entered the world's history as a perfect man, taking that history up into Himself and summarizing it. He Himself revealed to us that "God is love" (1 John 4:8) and at the same time taught us that the new command of love was the basic law of human perfection and hence of the world’s transformation. (en)
- Kesempurnaan Kristus adalah asas di dalam ilmu Kristologi yang menyatakan bahwa atribut-atribut insani Kristus adalah suri teladan sempurna dalam segala hal. Menurut pandangan lain, Kristus hanya sempurna dari segi rohani dan moral, sementara segi-segi kemanusiaannya tidak lepas dari kelemahan, potensi, dan peningkatan kualitas diri sebagai bagian dari kondisi manusia yang terus berubah. Pandangan Rasul Paulus tentang Kristus sebagai "insan kamil" menyifatkannya sebagai "Adam kedua" yang mendatangkan kehidupan, sesudah Adam pertama mendatangkan dosa. Pandangan ini dikemukakannya di dalam surat pertama kepada jemaat di Korintus (1 Korintus 15:22) dan surat kepada jemaat di Roma (Roma 5:12). Di dalam suratnya kepada jemaat di Efesus (Efesus 4:13), Paulus mengimbau umat Kristen untuk berusaha mencapai "kesatuan iman dan pengetahuan yang benar tentang Anak Allah, kedewasaan penuh, dan tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus," yakni menjadi sempurna sesempurna Kristus sendiri. Pada abad ke-2, Santo Ireneus dari Lyons mengemukakan gagasannya tentang kesempurnaan Kristus yang didasarkan atas Injil Yohanes (maupun injil-injil sinoptik) alih-alih atas surat-surat Paulus. Bagi Ireneus, kesempurnaan Kristus bersumber dari jati dirinya selaku "Sang Firman", yakni Logos, prawujud Kristus yang mahasempurna lagi tak tersentuh dosa. Karena Kristus adalah yang pertama, ia mampu mencapai kesempurnaan. Pada abad ke-3, Tertulianus mengetengahkan kesempurnaan Kristus sebagai konsekuensi penting dari inkarnasi Logos di dalam diri Kristus. Menurut pandangan Tertulianus, anggapan bahwa sesuatu dapat ditambahkan demi meningkatkan kualitas diri Kristus adalah penyangkalan terhadap injil-injil. Pada Abad Pertengahan, salah satu sorotan utama di dalam kajian-kajian kristologis mengenai Pengetahuan Kristus adalah kesempurnaan Kristus, sebagaimana yang diungkapkan di dalam Injil Yohanes (Yohanes 1:14) dengan frasa "penuh kasih karunia dan kebenaran". Pada abad ke-13, kesempurnaan Kristus dijabarkan Santo Tomas Aquinas secara terperinci di dalam karya tulisnya, Summa Theologiae (Rangkuman Teologi). Yohanes Kalvin menganggap kesempurnaan Kristus sebagai sumber kasih karunia yang menutupi cacat cela dosa yang ada pada manusia lain. Di dalam dokumen Gaudium et Spes, Konsili Vatikan II mengajarkan bahwa: Sebab Adam, manusia pertama, menggambarkan Dia yang akan datang, yakni Kristus Tuhan. Kristus, Adam yang Baru, dalam pewahyuan misteri Bapa serta cinta kasih-Nya sendiri, sepenuhnya menampilkan manusia bagi manusia, dan membeberkan kepadanya panggilannya yang amat luhur. Maka tidak mengherankan pula, bahwa dalam Dia kebenaran-kebenaran yang diuraikan di atas mendapatkan sumbernya dan mencapai puncaknya. Konsili Vatikan II selanjutnya menjelaskan konsep kesempurnaan insani Kristus, yang didasarkan atas kemanunggalan kodrat insani dan kodrat ilahinya: Dialah "gambar Allah yang tidak kelihatan" (Kolose 1:15, Bdk. 2 Korintus 4:4). Dia pulalah manusia sempurna, yang mengembalikan kepada anak-anak Adam citra ilahi, yang telah ternodai sejak dosa pertama. Dan karena dalam Dia kodrat manusia disambut, bukannya dienyahkan, maka dalam diri kita pun kodrat itu diangkat mencapai martabat yang amat luhur. Sebab Dia, Putera Allah, dalam penjelmaan-Nya dengan cara tertentu telah menyatukan diri dengan setiap orang. Ia telah bekerja memakai tangan manusiawi, Ia berpikir memakai akal budi manusiawi, Ia bertindak atas kehendak manusiawi, Ia mengasihi dengan hati manusiawi. Ia telah lahir dari Perawan Maria, sungguh menjadi salah seorang diantara kita, dalam segalanya sama seperti kita, kecuali dalam hal dosa (Bdk. Ibrani 4:15). Konsili Vatikan II merangkum gagasan ini pada pasal selanjutnya, dengan menitikberatkan kulminasi sejarah di dalam cinta kasih Allah, yang di dalamnya terasas kesempurnaan insani: Sebab Sabda Allah sendiri, Pengantara dalam penciptaan segala sesuatu, telah menjadi daging dan tinggal di bumi manusia; sebagai manusia sempurna ia memasuki sejarah dunia, seraya menampung dan merangkumnya dalam Dirinya. Sang Sabda mewahyukan kepada kita, “bahwa Allah itu cinta kasih” (1 Yohanes 4:8), sekaligus mengajarkan kepada kita, bahwa hukum asasi kesempurnaan manusiawi dan karena itu juga perombakan dunia ialah perintah baru cinta kasih. (in)
- La perfezione di Cristo è un principio della cristologia che asserisce che gli attributi umani di Gesù Cristo esemplificano la perfezione in ogni senso possibile. (it)
- A Perfeição de Cristo é um princípio na cristologia que afirma que os atributos humanos de Cristo eram exemplos de perfeição em todos os sentidos possíveis. (pt)
|
