| dbo:abstract
|
- Playboy Indonesia adalah edisi majalah Playboy dalam bahasa Indonesia. Edisi perdananya terbit pada bulan 7 April 2006 dan ditutup pada Maret 2007. Pengelola Playboy Indonesia adalah Erwin Arnada, Pemimpin Redaksi; Ponti Corolus, Penerbit/Direktur PT Velvet Silver Media; dan Stephen Walangitang, Penerbit/Direktur PT Velvet Silver Media Pada edisi perdananya, Playboy Indonesia memuat wawancara panjang dengan sastrawan Pramoedya Ananta Toer dalam rubrik Playboy Interview. Artikel ini merupakan wawancara terakhir yang dilakukan media massa dengan Pram yang meninggal dunia pada 30 April 2006, sekitar tiga pekan setelah wawancaranya diterbitkan oleh Playboy. Pembelian izin (lisensi) penerbitan Playboy Indonesia dikabarkan mencapai 3 miliar rupiah. Model sampul Playboy edisi perdana adalah Andhara Early dan Playmate pertama . Menurut pemimpin redaksi Playboy Indonesia, majalah Playboy Indonesia berbeda dari pendahulunya di mana isinya 70 persen adalah isi lokal. Banyak ormas Islam dan perkumpulan masyarakat yang tidak setuju seperti KAPMI (Kesatuan Aksi Pemudi Muslim Indonesia), MAPPI (Masyarakat Anti Pembajakan dan Pornografi Indonesia) yang menentang penerbitan majalah Playboy dan mendukung RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi disahkan. Koordinator Penyelidikan Ormas Islam FPI, Habib Alwi Usman, berkeras bahwa Majalah Playboy harus ditarik dari peredaran karena dalam bahasa betawi Playboy adalah bandot yang arti katanya berarti "lelaki yang merusak wanita dan anak-anak. Beberapa minggu setelah penerbitannya, terkait dengan demonstrasi yang mengarah kepada perusakan, polisi memanggil Erwin Arnada. Setelah melalui pemeriksaan selama 6 jam, Erwin menyatakan penerbitan Playboy edisi kedua ditangguhkan. Pihak kepolisian sendiri berkata bahwa pernyataan ini berhubungan dengan masalah keamanan staf dan personel yang bekerja untuk majalah Playboy, menimbang ancaman dan perusakan yang terjadi. Polisi juga masih menyelidiki tuduhan yang dilayangkan oleh pihak yang anti, apakah majalah Playboy benar benar melanggar undang undang kesusilaan, pasal 282 KUHP, yang berlaku.Setelah pernyataan ini, situs lelang ebay asal Amerika Serikat mencatat penawaran untuk membeli Playboy Indonesia edisi pertama mencapai US$101 padahal harga eceran majalah ini hanya Rp. 39,000,- untuk daerah Jawa dan sekitarnya. Setelah tidak terbit untuk edisi Mei 2006 akibat kontroversi dan ancaman yang merebak, Playboy Indonesia kembali terbit pada 7 Juni 2006. Kantor Playboy Indonesia pun pindah ke Bali setelah kantor di Jakarta beberapa kali dirusak oleh FPI dan ormas-ormas lain yang menolak kehadiran Playboy di Indonesia. Playboy edisi Juni 2006 tidak memiliki satu pun iklan di dalamnya, namun pada setiap halaman yang seharusnya diisi iklan tertuliskan "Halaman ini didedikasikan untuk klien-klien loyal kami yang menerima ancaman karena memasang iklan di majalah kami." Dan kemudian tertuliskan jenis iklan yang seharusnya tampil di halaman tersebut. (misalnya produk rokok, produk telepon genggam, dst.) (in)
- Playboy Indonesia is a franchise of Playboy magazine in Indonesia. The magazine was first published in April 2006. It is published by Velvet Silver Media and edited by Erwin Arnada. This edition of the magazine is notable in that it features no nudity and that it is the first Playboy to be published in a Muslim-majority country since a Turkish edition that was discontinued in the mid-1990s. Despite tailoring the magazine to conservative local sensibilities, with fully clad models and articles such as an interview with dissident author Pramoedya Ananta Toer, the magazine's premiere issue on April 6, 2006 raised significant controversy. Islamist groups such as Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) and the Islamic Defenders Front (FPI) staged large protests as well as legal challenges to the magazine. One of the more violent protests in Jakarta caused the owner of the ASEAN Aceh Fertilizer Building, where the Playboy office was located, to evict Velvet Silver Media. The magazine then moved its headquarters to Bali, which is predominantly Hindu and less restrictive than Islamic-ruled Jakarta, and put out its second issue in June 2006. The second issue carried no advertisements. Around 100,000 copies of each edition were printed and both sold out. Major advertisers returned for the third issue in July. As a result of the legal challenges, police in Jakarta investigated models and , who posed in the first issue, declaring them suspects for violating indecency rules. The magazine's editor-in-chief, Erwin Arnada, was also questioned. He was charged with violating the indecency provisions of the criminal code, but acquitted the following year. However, by 2010 he was back in prison for publication of (non-nude) pictures. On 24 June 2011, Arnada was released after a successful appeal to the Supreme Court. Many people regarded his release as a triumph for freedom of the press in this predominantly Muslim country. The controversy surrounding Playboy in Indonesia punctuated the issue of pornography legislation opposed by prominent Indonesian feminists, including Kamala Chandrakirana, chairwoman of the , who spoke openly in support of Playboy Indonesia. In an editorial in the June issue, Arnada wrote: "The absence of a growing monopoly of a set of values and views in our beloved country in the end is our final purpose. We believe that is also the target of all of us who live with reason and want to understand the meaning of democracy and a pluralistic society." (en)
|
